Ditulis Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.
S.H.Nasr
1. Pendahuluan
Topik kebebasan dan hak azasi manusia adalah topic yang universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius. Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Ketika humanisme memaknai kebebasan beragama standar kebebasannya tidak merujuk kepada agama sebagai sebuah institusi dan ketika agama memaknai kebebasan ia menggunakan acuan internal agama masing-masing dan selalunya tidak diterima oleh prinsip humanisme. Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama. Makalah ini akan mencoba mengelaborasi makna hak dan kebebasan dari perspektif Islam, DUHAM dan perundang-undangan di Indonesia.
2. Problem Deklarasi Universal HAM
Salah satu prestasi kemanusiaan terbesar setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu di susun oleh segelintir orang, tidak representative dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia. Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya nampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini.[1] Perkembangan selanjutnya adalah revisi Deklarasi pada ulang tahun ke 50 Deklarasi dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies di universitas McGill, Montreal. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.[2] Acara ini dilanjutkan di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris pada acara UNESCO. Dan yang terakhir adalah di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Pertemuan terakhir itu menghasilkan usulan baru Deklarasi Universal dengan beberapa komentar yang merepresentasikan dunia agama. Ini sekedar menunjukkan bahwa Deklarasi yang dianggap “Universal” itu ternyata masih belum mengakomodir aspirasi agama-agama. Ini berarti bahwa diperlukan suatu Deklarasi yang adil, yang memberi hak dan pegakuan kepada individu dan juga kelompok khususnya institusi agama dan Negara untuk memberi makna tentang hak, kebebasan, moralitas, keadilan dan kehormatan sekaligus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang beradab.
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Konon Muhammad Zafrullah Khan dari Pakistan dan Jamil al-Barudi dari Saudi Arabia telah memperdebatkan pasal ini. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM[3] tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim. Persoalan yang mengemuka kemudian hingga kini adalah apakah sikap Muslim secara individu dan kolektif terhadap pasal-pasal Deklarasi HAM yang bertentangan dengan ajaran dasar agamanya? Apakah Deklarasi HAM juga telah memberikan Muslim secara kolektif atau institusional hak dan kebebasan melaksanakan agamanya.
Selain dari sisi materi, persoalan yang lain adalah tentang kekuatan hukum Deklarasi HAM diatas. Apakah Deklarasi ini mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Terdapat sedikitnya empat pandangan dalam hal ini. Pertama, yang menganggap adanya kekuatan hukum Deklarasi tersebut secara internasional. Yang berarti mengikat seluruh anggota PBB, karena ini merupakan kelanjutan dari Charter PBB; kedua, deklarasi ini bertentangan dengan pasal 2(7) Charter PBB mengenai kedaulatan Negara. Ketiga, karena HAM dan kebebasan bukan masalah internal Negara tapi merupakan urusan internasional maka undang-undang disetiap Negara harus disesuaikan dengan norma-norma HAM. Keempat, deklarasi hanya diputuskan oleh PBB dan karena itu secara hukum tidak mengikat.[4] Mengingat bahwa Negara-negara itu mempunyai kedaulatan dan batasannya sendiri tentang HAM dan kebebasan, maka alternatif keempat adalah nampaknya ini yang lebih cocok untuk Negara, dan mungkin juga agama-agama.
Jikapun Deklarasi itu mengikat (karena telah didukung oleh UU No.12 tahun 2005), masalahnya kini masuk kedalam penafsiran arti kebebasan dalam Deklarasi HAM dan juga Undang-undang. Dalam penafsiran mengenai HAM ini terdapat sekurangnya empat aliran pemikiran: yaitu: Pandangan Universal Absolut, Pandangan Universal Relatif, Pandangan Partikularistis Absolut, dan Pandangan Partikularistis Relatif. Menurut Prof. Muladi dan Masyhur Effendi yang sesuai dengan kondisi Indonesia maupun negara-negara dunia ketiga adalah konsep partikularistis relatif. Sebab paham tersebut dinilai lebih mengedepankan aspek nasionalisme dan lokalistik sebagai bentuk keragaman yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi dalam konstalasi penegakan HAM. Selain itu, paham ini juga menyadari pentingnya menghargai sistem hukum dan nilai masing-masing bangsa sebab bagaimanapun hakekat keberadaan suatu bangsa tercermin dari sistem nilai dan hukum yang lahir berdasarkan sense of law, justice value, dan customery law dari masyarakat itu sendiri. Jadi hukum yang baik dengan segala institusinya menurut aliran historis yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny tidak lain adalah sistem hukum yang terbangun dari jiwa bangsa itu sendiri.[5] Jika kita menganut pandangan partikularistis Relatif maka makna kebebasan yang dilontarkan dalam Deklarasi HAM dapat disesuaikan dengan Negara atau institusi agama masing-masing.
3. Islam, Kebebasan dan HAM
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam. Yang pertama adalah Universal Islamic Declaration of Right, diadakan oleh sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam dalam sebuah Konferensi di London tahun 1981 yang diikrarkan secara resmi oleh UNISCO di Paris. Deklarasi itu berisi 23 pasal mengenai hak-hak asasi manusia menurut Islam.
Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990 (1411). Dari pendahuluan Deklarasi itu dapat disarikan menjadi beberapa poin diantaranya adalah bahwa 1) Islam mengakui persamaan semua orang tanpa membedakan asal-usul, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bahasa, 2) persamaan adalah basis untuk memperoleh hak dan kewajiban asasi manusia, 3) kebebasan manusia dalam masyarkat Islam consisten dengan esensi kehidupannya, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan bebas dari tekanan dan perbudakan, 4) Islam mengakui persamaan antara penguasa dan rakyat yang harus tunduk kepada hukum Allah tanpa diskrimasi, 5) warganegara adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak untuk menuntut siapapun yang mengganggu ketentraman masyarakat. Deklarasi itu terdari dari 25 pasal yang mencakup masalah kehormatan manusia, persamaan, manusia sebagai keluarga, perlunya kerjasama antar sesama manusia tanpa memandang bangsa dan agamanya, kebebasan beragama, keamanan rumah tangga, perlunya solidaritas individu dalam masyarakat, pendidikan bukan hak tapi kewajiban, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan, dan lain sebagainya.[6]
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin:
HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70)
HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia. (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate / fitrah).
HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya.
HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah.
HAM dalam Islam tidak absolute karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu. [7]
Selain itu Liga Arab pada 15 September 1994 dalam pertemuannya di Cairo Mesir, mengeluarkan sebuah Charter yang disebut Arab Charter of Human Right. Charter ini terdiri dari 39 Pasal yang menyangkut berbagai hal yang lebih lengkap dari apa yang terdapat dalam DUHAM.
Dalam kaitannya dengan kebebasan yang merupakan bagian terpenting dari hak asasi manusia, Islam dengan jelas telah memposisikan manusia pada tempat yang mulia. Manusia adalah makhluk yang diberi keutamaan dibanding makhluk-makhluk yang lain. Ia diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan.[8] Ia diciptakan menurut image (Surah) Tuhandiberi diberi sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Tuhan. Selain diberi kesempurnaan ciptaan manusia juga diberi sifat fitrah, yaitu sifat kesucian yang bertendesi mengenal dan beribadah kepada Tuhannya, serta bebas dari tendensi berbuat jahat. Sifat jahat yang dimiliki manusia diperoleh dari lingkungannya. Dengan keutamaannya itu manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30; 20:116). Oleh sebab itu manusia mengemban tanggung jawab terhadap Penciptanya dan mengikuti batasan-batasan yang ditentukanNya. Untuk melaksanakan tanggung jawabnya itu manusia diberi kemampuan melihat, merasa, mendengar dan yang terpenting adalah berfikir. Pemberian ini merupakan asas bagi lahirnya ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Ilmu pengetahuan, dalam Islam, diposisikan sebagai anugerah dari Tuhan dan dengan ilmu inilah manusia mendapatkan kehormatan kedua sebagai makhluk yang mulia. Artinya manusia dimuliakan Tuhan karena ilmunya, dan sebaliknya ia akan mulia disisi Tuhan jika ia menjalankan tanggung jawabnya itu dengan ilmu pengetahuan.
Namun dalam masalah kebebasan hanya Tuhanlah pemiliki kebebasan dan kehendak mutlak. Manusia, meski diciptakan sebagai makhluk yang utama diantara makhluk-makhluk yang lain, ia diberi kebebasan terbatas, sebatas kapasitasnya sebagai makhluk yang hidup dimuka bumi yang memiliki banyak keterbatasan. Keterbatasan manusia karena pertama-tama eksistensi manusia itu sendiri yang relatif atau nisbi dihadapan Tuhan, karena alam sekitarnya, karena eksistensi manusia lainnya. Upaya untuk melampaui keterbatasan manusiawi adalah ilusi yang berbahaya. Berbahaya bukan pada Yang Maha Tak Terbatas, yaitu Tuhan, tapi pada manusia sendiri.[9]
Kebebasan manusia dalam Islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh ahli fiqih, teolog, dan filosof. Bagi para fuqaha, kebebasan itu secara teknis menggunakan terma hurriyah yang seringkali dikaitkan dengan perbudakan. Seorang budak dikatakan bebas (hurr) jika tidak lagi dikuasai oleh orang lain. Namun secara luas bebas dalam hokum Islam adalah kebebasan manusia dihadapan hokum Tuhan yang tidak hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan tapi hubungan kita dengan alam, dengan manusia lain dan bahkan dengan diri kita sendiri. Sebab manusia tidak dapat bebas memperlakukan dirinya sendiri. Dalam Islam bunuh diri tidak dianggap sebagai hak individu, ia merupakan perbuatan dosa karena melampaui hak Tuhan.
Menurut para teolog kebebasan manusia tidak mutlak dan karena itu apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah sebatas apa yang mereka istilahkan sebagai ikhtiyar. Ikhtiyar memiliki akar kata yang sama dengan khayr (baik) artinya memilih yang baik. Istikaharah adalah shalat untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Jadi bebas dalam pengertian ini adalah bebas untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Sudah tentu disini kebebasan manusia terikat oleh batas pengetahuannya tentang kebaikan. Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, maka Tuhan memberi pengetahuan melalui wahyuNya. Orang yang tidak mengetahui apa yang dipilih itu baik dan buruk tentu tidak bebas, ia bebas sebatas kemampuan dan pengetahuannya sebagai manusia yang serba terbatas.
Para filosof tidak jauh beda dengan para teolog. Kebebasan dalam pengertian para filosof lebih dimaknai dari perspektif masyarakat Islam dan bukan dalam konteks humanisme sekuler. Para filosof juga memandang perlunya kebebasan manusia yang didorong oleh kehendak itu disesuaikan dengan Kehendak Tuhan yang menguasai kosmos dan masyarakat manusia, sehingga dapat menghindarkan diri dari keadaan terpenjara oleh pikiran yang sempit.
Meskipun berbeda antara berbagai disiplin ilmu namun semuanya tetap bermuara pada Tuhan. Namun yang penting dicatat para ulama dimasa lalu membahas masalah ini dengan merujuk kepada sumber-sumber pengetahuan Islam, yaitu al-Qur’an, hadith, ijma’, qiyas (akal) dan juga intuisi. Itulah sebabnya kebebasan dalam sejarah Islam dimaknai dalam konteks syariah. Meskipun telah terjadi konflik sesudah Khulafa al-Rasyidun antara penguasa dan ulama, namun syariah atau tata hukum Islam masih menjadi protective code yang mengikat masyarakat dan penguasa sekaligus. Disini ulama beperan dalam menjaga syariah ketika terjadi tindakan para khalifah yang berlawanan dengan hukum syariah, sehingga dalam situasi seperti itu kebebasan individu dijamin oleh syariah.[10] Itulah prinsip-prinsip kebebasan dalam Islam yang disampaikan secara singkat (in cursory manner). Kini perlu dibahas makna kebebasan dalam kaitannya dengan HAM, khususnya kebebasan beragama.
Dalam kaitannya dengan HAM dewasa ini dua persoalan penting yang perlu dibahas adalah pertama kebebasan berfikir dan berekspresi, dan kedua kebebasan beragama. Kebebasan berfikir dan berekspresi mendapat tempat yang tinggi Islam. Namun berfikir dan berekspresi harus disertai keimanan kepada Tuhan, bukan berfikir bebas yang justru menggugat Tuhan seperti di Barat. Dalam al-Qur’an berfikir disandingkan dengan berzikir alias mengingat Tuhan. Selain itu kebebasan berekspresi atau dalam Islam disebut ijtihad, dibolehkan bagi yang memiliki otoritas keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sebab innovasi dalam ilmu apapun tidak dapat dipisahkan dari otoritas keilmuan. Secara epistemologis kebebasan berfikir dan berekspresi dibatasi oleh pandangan hidup Islam (Worldview of Islam) yang secara konseptual dapat dirujuk kepada konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an yang dielaborasi oleh Hadith dan tradisi intelektual Islam. Jadi kebebasan berfikir dalam Islam harus berbasis pada epistemologi, ontologi dan aksiologi Islam. Sebab Islam sebagai woldview adalah sebuah cara pandang. Jika Islam dipandang dengan worldview selain Islam akan mengakibatkan kerancuan konseptual dan pada tingkat sosial akan mengakibatkan konflik berkepanjangan dalam memaknai dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Kebebasan beragama yang diberikan Islam mengandung sekurangnya tiga arti: Pertama bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi orang non-Muslim untuk memeluk agama Islam. Kedua, apabila seseorang telah menjadi Muslim maka ia tidak sebebasnya mengganti agamanya, baik agamanya itu dipeluk sejak lahir maupun karena konversi. Ketiga: Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sepanjang tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah. Karena masalah ini kini merupakan issu yang kini sedang mengemuka di negeri ini, maka perlu disoroti dalam dalam konteks DUHAM dan perundang-undangan yang berlaku.
4. Batasan Hak dan Kebebasan beragama
Dalam kontek keislaman dan keindonesiaan, hak dan kebebasan beragama telah dapat ditafsirkan dan diberi batasan sesuai dengan kondisi intern umat Islam dan bangsa Indonesia, sebagaimana Negara-negara Barat memberi batasan-batasan pada makna kebebasan beragama. Secara prinsipil tidak ada masalah antara Islam dan DUHAM, kecuali pasal 18 dan 16, namun pada tingkat praktis makna kebebasan itu perlu dibatasi agar terhindar dari konflik sosial. Dan untuk itu perundang-undangan di Indonesia telah siap dengan perangkat hukumnya.
A. Prinsip dan Dasar Hukum
a) Islam:
Prinsip Islam sudah jelas yaitu memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinan kepada orang lain.[11] (QS. 2:256). Jika dalam suatu masyarakat atau pemerintahan Islam terdapat warga non-Muslim, maka mereka diberi kebebasan untuk memeluk agama masing-masing. Mereka dihormati dan tidak akan mendapat tekanan politik atau lainnya sedikitpun.[12]
Dalam Deklarasi Cairo dinyatakan dalam Pasal 10 sbb: Islam adalah agama fitrah. Tidak ada paksaan yang diperbolehkan terhadap siapapun. Eksploitasi kemiskinan dan kebodohan manusia untuk mendorongnya berpindah dari satu agama kepada agama lain atau heterodoxy dilarang. Pada Pasal 18 : Setiap orang mempunyai hak untuk menjaga dirinya, agamanya, keluarganya kehormatannya dan hak miliknya.
b) Deklarasi “Universal” HAM
Pasal 18 : Setiap orang mempunyai hak kebebasan berfikir, berkeyaninan dan beragama; hak ini termasuk hak merubah agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk melaksanakan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, beribadah dan upacara (keagamaan) baik secara perorangan atau secara kelompok, sendirian atau didepan umum.
c) Undang-undang di Indonesia
Deklarasi ini ditetapkan pasal demi pasal oleh Undang-undang Republik Indonesia No.12 tahun 2005, tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dalam pasal 18 Dtetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat umum dan perlu penjabarn lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 masalah: 1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya benturan program antara satu agama dengan agama lain. 2) Hubungan kebebasan beragama pada pemeluk agama masing-masing. Ini menyangkut masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat penganut agama tsb dianggap menyimpang. 3) Hubungan kebebasan beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemiluk agama. 4) Hubungan kebebasan beragama dengan DUHAM. Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam agama.
Dalam pertanyaan problem diatas dapat dirumuskan begini:
1) Apakah setiap agama berhak dan bebas melaksanakan agamanya masing-masing meskipun harus berbenturan dengan pelaksanaan agama lain?
2) Apakah setiap penganut suatu agama berhak dan bebas menodai kesucian agamanya sendiri?
3) Apakah pemerintah berhak dan bebas mengatur agama-agama yang terdapat dalam kekuasaannya?
4) Apakah PBB melalui DUHAM berhak dan bebas mengatur kebebasan agama-agama di dunia?
Pertanyaan-pertanyaan itu jawabannya saling terkait dan intinya adalah satu yaitu apakah batas kebebasan bagi institusi agama, individu, Negara dan PBB untuk mengamalkan dan mengatur agama.
B. Batasan Hak dan Kebebasan Beragama
Hak dan kebebasan yang dimaksud diatas mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya. Namun hak dan kebebasan ini bukan kebebasan mutlak, sebab dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri.
Dalam Islam batasan lebih detail mengenai hak dan kebebasan beragama, berfikir dan berbicara dijelaskan dalam Deklarasi London sbb:
Setiap orang mempunyai hak untuk mengekspresikan pemikiran dan kepercayaannya sejauh dalam lingkup yang diatur dalam hukum. Namun tidak seorangpun berhak menyebarkan kepalasuan atau menyebarkan berita yang mungkin mengganggu ketentraman public atau melecehkan harga diri orang lain.
Mencari ilmu dan mencari kebenaran bukan hanya hak tapi kewajiban bagi Muslim.
Hak dan kewajiban Muslim adalah melakukan protes dan berjuang melawan penindasan, meskipun dalam hal ini harus melawan penguasa Negara.
Tidak ada batasan dalam menyebarkan informasi, asalkan tidak membahayakan keamanan masyarakat dan Negara dan masih dalam lingkup yang dibolehkan oleh hukum.
Tidak seorangpun berhak menghina atau melecehkan kepercayaan agama lain atau memprovokasi permusuhan public; menghormati kepercayaan agama lain adalah kewajiban bagi Muslim.[13]
Meskipun Deklarasi London telah cukup jelas namun keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAM, bahwa implementasi kebebasan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan, ketertiban, maupun norma agama. Juga dalam pasal 70 UU yang sama lebih jelas lagi bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Sungguh merupakan hal yang tidak dapat disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya.
Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Untuk maksud tersebut maka kebebasan beragama perlu dirasionalisasi atas dasar keseimbangan antara hak dan kewajiban. Oleh sebab itu Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas. Landasan hukum atau prinsip dasar yang mengatur kebebasan beragama termaktub dalam pasal 156 KUHPid, UU No I PNPS 1965, SKB Mendagri dan Menag. No 1 tahun 1969 dan SK Menag No 70 tahun 1978 yang isinya adalah sbb :
Setiap orang berhak untuk memeluk suatu agama, yang berarti:
Setiap orang atas kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau paksaan.
Setiap orang hanya boleh menganut satu agama, tetapi tidak bebas menganut dua agama atau lebih sekaligus.
Setiap penganut suatu agama bebas mengembangkan dan menyebarkan ajaran agamanya, tetapi tidak bebas mengembangkan atau menyebarkan ajaran agamanya kepada orang yang telah menganut agama lain dengan paksaan atau cara lain yang tidak bersandarkan kepada keikhlasan/kesadaran murni.
Setiap penganut agama bebas menjalankan ajaran agamanya, yang berarti
Bebas tanpa gangguan, halangan, pembatasan dari pihak manapun untuk beribadah menurut ajaran agamanya, tetapi tidak bebas menjalankan ibadah yang menimbulkan gangguan, ketidaknyamanan, apalagi yang bersifat penghinaan, penistaan atau penodaan terhadap penganut ajaran agama lain.
Bebas mengembangkan dan memelihara hakekat ajaran agama yang dianut, tetapi tidak bebas membuat penyimpangan, merusak/mengacak-acak ajaran agama/kepercayaan orang lain.
Setiap penganut agama bebas mendirikan rumah ibadah masing-masing yang berarti :
Bebas membuat rancangan bangunan, model, eksterior dan interior, tapi tidak bebas membuat rancangan bangunan yang persis menyerupai bentuk rumah ibadah agama lain
Bebas membangun di atas tanah/tempat yang sah dan patut , tetapi tidak bebas membangun rumah ibadah disembarang tempat termasuk tempat ibadah yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan
Pembatasan kebebasan beragama juga dilakukan oleh negara-negara Barat sekuler yang mengaku telah melaksanakan HAM dengan baik. Di Eropa saat ini izin pendirian masjid dibatasi. Di negara-negara Barat (Eropah dan Amerika) sendiri yang dikenal sebagai kampiun demokrasi, ada ketentuan yang melarang masjid menggunakan pengeras suara. Bahkan di Inggeris siswa-siswa Muslim yang belajar di sekolah negeri tidak mudah melaksanakan shalat di sekolahnya. Pemerintah Perancis hingga kini tidak membolehkan jilbab digunakan bagi pelajar dalam sekolah-sekolah negeri setempat. Dan banyak lagi yang tidak perlu disebutkan disini.
Ini berarti negara-negara sekuler sekalipun masih perlu mengatur kebebasan beragama. Akan tetapi antara Indonesia dan negara-negara Barat sekuler berbeda. Jika di negara Barat agama diatur agar tidak masuk keruang publik, di Indonesia justru karena agama itu masuk kedalam ruang publik. Muslim yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia melaksanakan agamanya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Ketika Muslim mendirikan Bank Syariah, maka negara terpaksa ikut mengatur dan menertibkannya. Dari sisi lain hak negara Indonesia mengatur agama dapat ditelusur dari falsafah Negara Indonesia yang landasan kehidupan berbangsa dan bermasyarakatnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (sila I Pancasila). Artinya asas keadilan, kemanusiaan, kemakmuran dan lain-lain bangsa Indonesia ini kembali kepada asas ketuhanan agama-agama yang ada di Indonesia. Disinilah poinnya bahwa sistim ketatanegaraan kita berbeda dari sistem sekuler Barat yang menjauhkan unsur agama dari kekuasaan. Kita justru menjadikan agama sebagai prinsip kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dari sisi prinsip-prinsip HAM ketertiban hak kebebasan beragama ini masuk ke ranah hak sipil dan hak politik. Ini berarti pengaturan tentang kebebasan beragama turut menjadi bagian dari kewenangan Negara. Artinya negara memiliki legitimasi untuk mengatur persoalan agama termasuk kebebasan beragama.
Kesimpulan
Hak dan Kebebasan beragama harus dimaknai dalam konteks agama dan Negara masing-masing dan tidak dapat dimaknai secara mutlak tanpa batasan. Untuk mengatasi konflik berkepanjangan antara DUHAM dan agama-agama diperlukan penjelasan lebih detail oleh masing-masing agama itu tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dan kebebasan. Disisi lain DUHAM perlu mengakomodir kekhususan Negara-negara dan institusi agama dalam menafsirkan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan. Dengan cara ini yang satu tidak mengorbankan yang lain. Sudah tentu dalam hal ini peran institusi dan otoritas agama sangat sentral. Jika terjadi konflik antara tuntutan HAM dan umat beragama, atau antar umat bergama atau antar pemeluk dalam satu agama, maka Negara berkewajiban mengatur dan mengakurkan keduanya dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga resmi agama-agama tersebut.
Jakarta, 9 Juli 2008
[1] Lihat Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M.Martin dan Arvind Sharma, eds. Human Right and Responsibilitis in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003, 131)
[2] Ibid.
[3] Berbunyi (1) setiap laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi ras, kebangsaan atau agama, mempunyai hak untuk kawin dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama ketika dan sesudah melangsungkan perkawinan. (2) Perkawinan harus dilaksanakan dengan bebas dan dengan persetujuan kedua belah pihak.
[4] Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Right in Islam and Refutation of the Misconceived Allegation Associated with These Right, Dar Eshbelia, Riyadh, S.A. t.t. 82-83
[5] Saharuddin Daming, Pelarangan Ajaran Sesat Dalam Perspektif Hukum dan HAM, Sabilli, no 26, th. XV, Juli, 2008.
[6] Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Right, 49-59.
[7] Ibid, 60
[8] Kami ciptakan manusia sebaik-baik ciptaan… (QS 95:4)
[9] Hossein Nasr, Seyyed, Islamic Life and Thought, George Allen & Unwin, London, Boston, Sydney, 17-18.
[10] Ibid, 23
[11] Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yunus 99); Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…(QS. Al-Baqarah 256)
[12] Abul Ala al-Maududi, Islam and Human Right, dikutip dari http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/M_hri/index.htm, tanggal 7 juli 2008
[13] Dikutip dari Muddathir Abd al-Rahim, dalam The Human Rights Tradition in Islam, Praeger, Westport, Connecticut, London, 2005, hal 170-171.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar